Akhir-akhir ini, banyak didapati madu yang dicampur (blending) dengan ekstrak herbal. Diantara herbal-herbal yang sering digunakan dalam blending seperti sambiloto, temulawak, kelor, jinten hitam, manggis, dan lain-lain. Selain dari ekstrak herbal, madu blending tidak jarang menggunakan bahan organik seperti albumin dari ikan gabus atau kolagen dari tripang.
Maksud dari blending ini diharapkan untuk mendapatkan varian madu dengan manfaat lebih. Madu blending ini merupakan inovasi dan bukan berdasarkan etnomedisin.
Jika dilihat dari aspek formulasi, madu blending merupakan sebuah pengembangan formula untuk mendapatkan produk baru yang memiliki khasiat sinergisme. Sedangkan dari tinjauan pasar, terbukti madu blending memiliki kemampuan penetrasi pasar yang lebih baik dibandingkan madu yang original. Akan tetapi, ada perbedaan dalam hal perijinannya, dimana untuk madu blending ijin edarnya menjadi TR dan bukan lagi MD. Hal ini yang terkadang belum banyak dipahami oleh para peramu madu blending.
Kemampuan menghasilkan madu blending yang dapat diterima pasar sangat tergantung dari jenis madu dan mutu ekstrak yang digunakan. Sebagai contoh, jenis madu dipengaruhi oleh jenis bunganya seperti madu kaliandra, madu multiflora, madu randu, dan lain-lain. Selain itu, daerah peternakan lebah madu
juga mempengaruhi kualitas madunya. Madu dengan kadar air yang tinggi dianggap rendah mutunya. Demikian juga madu yang dihasilkan dari lebah yang dibudidayakan melalui sumber makanan dari cairan gula, dianggap rendah kualitas madu yang dihasilkan. Ekstrak herbal yang disari dengan menggunakan pelarut yang berbeda dapat memberikan khasiat berbeda.
Semisal daun kelor yang diekstrak dengan air atau etanol menghasilkan manfaat yang berbeda, dimana aktivitasnya sebagai antibakteri lebih kuat dari kelor yang diekstrak dengan etanol dibandingkan dengan air. Daerah dimana herbal tersebut dibudidayakan juga dapat mempengaruhi khasiat dari madu blending yang dihasilkan. Ini karena kandungan zat aktif dalam herbal dapat dipengaruhi faktor suhu, kelembapan, nutrisi tanah, intensitas dan kualitas cahaya matahari.
Madu blending juga dapat mengalami inkompatibilitas oleh sebab komposisi antara madu dengan ekstrak herbalnya tidak tepat. Inkompatibilitas ini bisa ditandai dengan adanya endapan pada dasar botol atau campuran yang tidak homogen dan cenderung membentuk partikel-partikel kasar pada madu. Ini dapat diatasi dengan melakukan optimasi rasio madu dengan ekstraknya.
Metode blending juga bisa mempengaruhi tampilan. Madu yang cenderung kental karena kandungan gula relative tinggi lebih sukar homogeny dibandingkan dengan kandungan gula yang lebih encer. Beberapa teknologi bisa digunakan untuk meningkatkan homogenitasnya, misalnya dengan sedikit pemanasan dan pengadukan stirer atau menggunakan homogenizer.
Teknik sampling secara representatif pada setiap bagian campuran dapat sebagai metode kontrol kualitas aspek homogenitasnya. Stabilitas madu blending juga dapat diuji dengan cara penyimpanan pada 2 suhu ekstrim yang berbeda, misalnya minus 4 derajat dan 40 derajat celcius, kemudian diamati secara makroskopis penampilannya. Madu blending yang bermutu adalah yang stabil disimpan pada suhu dingin maupun panas.
oleh : Dr. Kintoko MSc Apt
Peneliti Herbal Staf Farmasi UAD, Kepala Sentra HKI & PBT UAD dan General Manajer Apotek 3P
Diambil dari Koran Republika (Jawa Tengah dan DIY) edisi Kamis, 17 Mei 2018 / 1 Ramadhan 1439 H